Senja turun perlahan di Gunung, Buper, meninggalkan warna jingga yang menyapu atap rumah-rumah batu. Di halaman rumah bercat putih muda, seorang perempuan bernama Kristian berdiri sambil memegang dua cangkir kopi panas. Ia merapikan rambutnya yang tertiup angin, berusaha menenangkan degup jantungnya.
Hari itu, seseorang yang sangat berarti akan datang: Linda, sahabat masa kecilnya. Ia sudah merindu sejak berbulan-bulan. Setiap pesan dari Linda selalu membuat hatinya berdetak lebih cepat. Dalam hati, Kristian menyimpan sesuatu yang tak pernah ia ucapkan-sebuah rasa yang tumbuh pelan-pelan, seperti embun di pagi hari.
Mobil putih berhenti di depan rumah. Kristian tersenyum.
“Linda!” serunya. Namun sejak turun dari mobil, sesuatu tampak berbeda. Linda berjalan sambil menatap layar ponselnya. Ia tersenyum… tapi bukan pada Kristian melainkan pada pesan seseorang.
“Kristian! Maaf, tadi macet,” katanya cepat. “Sebentar ya, aku balas ini dulu.” ristian mengangguk. Ia menaruh cangkir kopi di meja, mencoba menutupi rasa kecewa yang mulai menghangat di dadanya.
Mereka duduk berdua, tapi rasanya seperti jauh. Setiap kali Kristian mulai bercerita, Linda selalu memotong dengan, “Sebentar ya,” atau “Tunggu, ini penting.” Jarang ia memandang mata Kristian. Jarang ia benar-benar hadir.
Akhirnya Kristian bertanya pelan, “Siapa yang kamu chat terus, ya?” Linda tersenyum, wajahnya berubah hangat. “Ah… ada seseorang. Aku lagi dekat sama dia. Kamu tahu kan, rasanya kalau lagi jatuh cinta.”
Kristian terdiam. Ia ingin ikut bahagia. Ia ingin mendukung. Tapi di saat yang sama… ia merasa seperti tamu yang tak diundang di hatinya sendiri.
Ia menunduk, meremas jemari sendiri, mencoba menelan kenyataan bahwa rasa yang ia simpan selama ini kalah oleh pesan-pesan singkat di ponsel Linda.
Senja makin pekat. Angin terasa lebih dingin. Setelah beberapa lama, Linda akhirnya menyadari Kristian diam terlalu lama.
“Kristian? Kamu kenapa?” tanya Linda. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat wajah Kristian. Kristian tersenyum tipis, meski matanya tak bisa berbohong.
“Aku cuma pikir… lucu ya. Aku sudah siapin semuanya. Kopi, waktu, cerita… Tapi ternyata aku yang jadi tamu di rumahku sendiri.”
Linda terdiam. Ponselnya ia letakkan. Ia menatap Kristian dengan wajah menyesal. “Kristian… maaf. Aku nggak sadar. Kamu teman paling penting buat aku.” “Tapi kamu tidak memandangku,” jawab Kristian pelan. “Kamu lebih sibuk memandang seseorang yang bahkan tidak ada di sini.”
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara serangga malam yang terdengar di luar. Linda menarik napas panjang. “Aku salah. Aku ke sini untuk menemui kamu, tapi malah hadir hanya separuh. Kamu berhak dapat lebih dari itu.”
Kristian tidak menjawab. Ia hanya menatap langit malam yang mulai muncul satu bintang.
Mungkin cinta memang begitu-kadang membuat seseorang lupa pada yang setia menunggu di depan mata.
Linda akhirnya menyimpan ponselnya dalam saku, benar-benar mematikan notifikasi.
“Mulai sekarang, aku di sini. Sungguh,” katanya pelan.
Kristian menatapnya sebentar. Ada luka di hatinya, tapi juga ada kehangatan lama yang tak hilang. “Baik,” bisiknya.
Malam itu, mereka bercerita lagi tentang masa kecil, tentang mimpi, tentang hal-hal kecil yang dulu membuat mereka dekat.
Dan meski Kristian tahu hatinya tidak akan utuh seperti sebelumnya, ia merasa sedikit lega. Karena untuk pertama kalinya sejak Linda datang, ia merasa dilihat. Dan kadang… itu sudah cukup.
Malam semakin larut. Lampu kuning di teras rumah Kristian memantulkan bayangan mereka berdua. Setelah sekian lama berbicara, hening kembali menyelimuti.
Kristian memandangi cangkir kopinya yang sudah dingin. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan. Linda menatapnya, seolah membaca pikirannya.
“Kristian…” suara Linda lembut. “Kenapa kamu begitu diam tadi? Sebelum aku sadar.”
Kristian menarik napas panjang. “Karena aku takut,” jawabnya jujur. “Tapi takut apa?”
“Takut kalau sebenarnya aku cuma tempat singgah. Tempat pulang kalau kamu sepi. Tapi ketika hati kamu penuh oleh orang lain, aku cuma jadi bayangan di belakangmu.”
Perkataan itu menusuk Linda. Ia tak pernah memikirkan bahwa sikapnya bisa mengiris seseorang sedalam itu. Ia menunduk.
“Salah aku. Aku terlalu senang mengejar seseorang, sampai lupa melihat yang sudah lama ada di sampingku.” Kristian tersenyum pahit. “Cinta memang bisa bikin orang buta, ya.”
Linda menatapnya. “Kamu marah?” “Tidak,” jawab Kristian pelan. “Aku cuma… kecewa.” Angin- dingin lewat, membawa aroma rumput malam.
Linda mengambil keputusan. Ia mematikan ponselnya sepenuhnya, lalu meletakkannya jauh dari mereka. “Kristian, boleh aku jujur?”
Kristian menoleh, ragu.
“Aku datang hari ini juga karena ingin bilang sesuatu. Sebenarnya… aku hampir menyerah mengejar dia.” Kristian mengerutkan alis.
“Kenapa?” “Karena dia tidak pernah melihatku seperti kamu melihatku.” Kristian terdiam.
“Dan setelah lihat kamu menangis… aku sadar. Orang yang benar-benar peduli itu tidak selalu yang kita kejar. Tapi yang bertahan di sini, meski kita sibuk mencintai orang lain.”
Jantung Kristian berdetak lebih cepat. Ada harapan kecil yang muncul, tapi ia takut memegangnya.
“Tapi, ya…” ia menelan ludah, “jangan bilang begitu hanya karena kamu gagal mendapatkan dia.” “Aku tidak gagal,” jawab Linda cepat. “Aku hanya baru mengerti.” Linda menatap mata Kristian dalam-dalam. Tatapan yang dulu tidak pernah ia berikan.
“Kamu bukan tempat singgah, Kristian. Kamu rumah.” Kristian terkejut.
Jemarinya gemetar. Tapi sebelum ia menjawab, suara pesan masuk dari ponsel Linda meski sudah dimatikan, seolah nasib menguji mereka. Linda terdiam, ragu untuk mengambilnya. Kristian menahan napas. “Ambil saja,” katanya pelan, walau hatinya sakit. Linda menggeleng. “Tidak. Aku sudah buat pilihan.”
Ia mengepalkan tangan, meninggalkan ponsel itu di meja. “Kalau seseorang ingin aku hadir sepenuhnya, aku harus mulai belajar hadir untuk orang yang selama ini sudah ada.” Kristian menunduk, wajahnya panas, antara malu dan haru.
“Kristian… boleh aku jujur satu hal lagi?” Kristian mengangguk. “Aku tidak tahu kapan tepatnya… tapi aku lebih tenang saat bersamamu daripada saat mengejar siapa pun.”
Air mata Kristian jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi kali ini bukan karena kecewa melainkan karena sesuatu yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan tempat.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Linda menggenggam tangan Kristian. Pelan, namun pasti. Seperti langkah awal dari sesuatu yang baru.
Tapi perjalanan mereka belum selesai. Karena cinta yang datang terlambat sering kali membawa ujian yang lebih berat.
Penulis adalah Blasius Gobai Mahasiswa Jayapura
