Melawan Arus Penderitaan di Tengah Identitas yang Terbelah



Oleh Paskalis Dogomo 

Kalau tidak salah ingat, kebutuhan adalah dasar dari kehidupan. Dari kebutuhanlah manusia bergerak, berjuang, dan menata masa depannya. Namun dalam kenyataan yang kita alami hari demi hari, kebutuhan itu tidak lagi berdiri sebagai fondasi yang mempersatukan. Ia sering terhalangi oleh dinding-dinding identitas yang semakin tebal: marga-isme, pulau-isme, suku-isme semua isme yang mengkotak-kotakkan manusia dalam ruang kecil bernama “kami” dan “mereka”.

Padahal, sebelum menjadi bagian dari marga, pulau, atau suku tertentu, manusia adalah makhluk yang sama-sama menginginkan damai, ingin disayangi, ingin dihargai, dan ingin hidup tanpa rasa takut. Namun realitas kita justru bergerak menjauh dari nilai-nilai sederhana itu.

Kata-kata Surya Paloh tentang melawan arus penderitaan, menantang badai kematian bukan sekadar kalimat retoris. Ia menggambarkan kondisi banyak warga negeri ini yang hidup seperti perahu kecil di tengah gelombang besar. Mereka berusaha tetap berdiri tegak dalam tekanan ekonomi, politik, dan sosial yang menyita energi jiwa.

Di tengah pergolakan itu, hati sering mengajak kita mencari kekuatan spiritual. Ibadah menjadi ruang rehat, tempat kita kembali menyusun keberanian. Tetapi pikiran kerap tidak sejalan. Ia melayang ke berbagai arah: pada beban hidup, tekanan pekerjaan, ketidakadilan, dan rasa kecewa yang terlalu lama dipendam. Tubuh hadir di rumah ibadah, tetapi jiwa belum sepenuhnya pulang.

Inilah keunikan manusia: hati, jiwa, dan tubuh adalah tiga unsur yang ingin bersatu, tetapi tidak selalu mampu selaras. Kita berupaya kuat mengikuti ibadah, menerima perjamuan suci, menjalani ritual keagamaan dengan niat lurus. Namun godaan hidup, rayuan dunia, dan tekanan ekonomi membuat konsentrasi melemah. Dalam momen seperti ini, kita sadar bahwa beriman bukan hanya soal ritual, tetapi perjuangan batin yang terus-menerus.

Di sisi lain, negara menjanjikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ide itu berdiri megah sebagai salah satu pilar Pancasila. Secara konseptual, gagasan tersebut logis, radikal, dan mulia. Namun dalam kenyataan, implementasinya kerap terasa jauh. Koridor kebijakan yang seharusnya menjamin keadilan masih dipenuhi celah, penuh kompromi, bahkan tidak jarang penuh kepentingan.

Akibatnya, rasa pesimis tumbuh di tengah masyarakat. Mereka melihat hukum berjalan tidak seragam, kesejahteraan dibagi tidak merata, dan pembangunan bergerak terlalu lambat di wilayah yang seharusnya diperhatikan sejak lama. Sementara itu, optimisme tetap ada, terutama di kalangan muda, tetapi sering terseret oleh fanatisme identitas yang tidak pernah benar-benar hilang dari ruang sosial kita.

Indonesia memiliki lima agama besar dan ratusan suku bangsa. Keberagaman itu seharusnya menjadi kekayaan, namun tidak jarang menjadi sumber salah paham. Kita ingin bersatu, tetapi identitas membuat kita berhitung sebelum membuka pintu. Kita ingin saling mempercayai, tetapi prasangka lebih cepat menyergap daripada dialog. Kita ingin hidup rukun, tetapi sejarah luka lama masih membayangi hubungan antar-kelompok.

Persatuan yang ideal bukan sekadar seruan dari podium-podium politik. Ia membutuhkan kemauan kolektif untuk melampaui marga, pulau, bahasa, dan keyakinan. Butuh keberanian untuk melihat manusia sebagai manusia bukan sebagai perpanjangan dari suku atau kelompok tertentu.

Melawan arus penderitaan berarti melawan ego kelompok yang sering menghalangi kita memahami realitas lebih luas. Menantang badai kematian berarti berani menentang cara berpikir sempit yang membuat bangsa ini berjalan di tempat.

Jika kebutuhan adalah dasar dari kehidupan, maka penyadaran adalah dasar dari perubahan. Kita harus mulai bertanya: untuk apa kita mempertahankan sekat-sekat yang tidak memberi kita apa-apa selain ketakutan dan jarak?

Bangsa ini hanya bisa maju jika setiap individu berani melampaui identitasnya tanpa harus melepaskannya. Kita perlu belajar bahwa menjadi bagian dari suku tertentu tidak harus membuat kita curiga pada suku lain. Bahwa kepercayaan yang kita anut tidak harus menjadikan kita merasa lebih suci dari pemeluk agama lain. Bahwa menjadi manusia Indonesia berarti memikul tanggung jawab moral untuk menyatukan yang beragam, bukan memperluas jurang perbedaan.

Pada akhirnya, penderitaan terbesar bukanlah kekurangan materi, tetapi kegagalan untuk menyadari bahwa kita membutuhkan satu sama lain. Ketika persatuan dibangun, maka dasar kehidupan manusia menjadi lebih kuat. Ketika keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, harapan tumbuh.

Dan ketika semua orang menghormati perbedaan tanpa rasa takut, barulah kita benar-benar menantang badai, bukan hanya menghindarinya.

(*)

Penulis Adalah Mahasiswa S2 di Jayapura 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama