Di lereng-lereng hening Kampung Abaimaida, Distrik Mapia Kabupaten Dogiyai, Papua tengah, cahaya kecil menyala dari sebuah rumah sederhana. Cahaya itu bukan berasal dari lampu listrik yang sering padam di malam hari tetapi dari sekelompok anak muda yang duduk melingkar, membaca buku dengan mata yang penuh ingin tahu. Dari tempat itulah, lahir Pojok Literasi Abaimaida sebuah gerakan kecil yang menyalakan api pengetahuan di tengah keterbatasan.
Pojok literasi ini bukan bangunan megah, bukan pula proyek pemerintah. Ia lahir dari hati dan keprihatinan seorang anak kampung, Paskalis Dogomo, yang oleh warga sering dijuluki Petani Daun Ubi sebutan khas bagi orang yang hidup sederhana namun kuat menanggung banyak beban. Dari tangan dan niat tulusnya, pojok ini berdiri pada tahun 2017, di bawah rindang pepohonan halaman kampung Abaimaida
Paskalis Dogomo memulai gerakan ini dengan keyakinan sederhana bahwa membaca dan menulis adalah jalan keluar dari kebodohan dan kemiskinan. Ia melihat banyak anak muda Papua yang bisa membaca, tetapi tidak punya ruang untuk mempraktikkan dan memperdalam kemampuan mereka. Buku menjadi barang langka, bacaan menjadi mewah, dan waktu belajar sering terkalahkan oleh urusan bertahan hidup.
Melihat kenyataan itu, Paskalis tidak menunggu bantuan datang. Ia mulai mengumpulkan buku bekas dari teman-teman mahasiswa dan guru. Dengan modal seadanya, ia membuka sebuah pojok belajar di rumahnya. Anak-anak kampung yang tadinya hanya bermain di lapangan atau menghabiskan waktu di sungai, kini mulai datang untuk membaca dan mendengarkan cerita.
Tidak sendirian, ia dibantu oleh Pater Hubertus Magai, PR, seorang rohaniwan yang juga sahabat sejati dalam panggilan hidup dan perjuangan. Keduanya saling melengkapi: Paskalis dengan jiwa sosialnya, dan Pater Hubertus dengan bimbingan rohaninya. Mereka percaya bahwa pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga pembentukan karakter dan moralitas.
Dua tahun pertama berjalan dengan penuh semangat. Anak-anak muda belajar membaca, menulis, dan menampilkan hasil bacaan mereka dalam bentuk drama kecil di depan masyarakat. Dari kegiatan sederhana itu, muncul rasa percaya diri dan kebanggaan. Mereka tidak lagi malu berbicara di depan umum. Mereka mulai bermimpi.
Namun pada tahun 2019, perjalanan Paskalis berbelok. Ia mencoba menapaki jalan politik dengan mencalonkan diri sebagai Bupati Dogiyai Ia ingin membawa semangat literasi dan pendidikan ke tingkat kebijakan. Meski akhirnya harus menerima kenyataan pahit karena diskualifikasi, langkah itu menunjukkan satu hal: bahwa literasi bisa melahirkan keberanian untuk bermimpi besar.
Sambil melanjutkan S2 Kini, Paskalis tengah berjuang membangun asrama swadaya di Jayapura, tempat bagi anak-anak kampung yang ingin melanjutkan pendidikan. Ia percaya, “asrama bukan hanya tempat tinggal, tapi rumah pembentukan karakter.” Dari asrama inilah, ia berharap lahir generasi baru Papua yang cerdas, rendah hati, dan mencintai tanahnya.
Ketika Paskalis harus meninggalkan kampung untuk melanjutkan perjuangan di kota, tongkat estafet Pojok Literasi diserahkan kepada Alexander Magai, seorang guru yang berdedikasi tinggi. Alexander melanjutkan karya itu dengan cara yang khas, penuh kesabaran, ketulusan, dan keyakinan bahwa setiap anak punya masa depan.
Meski kini ia “mengabaikan dirinya sebagai guru formal,” Alexander tetap mengajar bukan di ruang kelas bersemen, tapi di tanah kampung yang penuh debu dan cahaya matahari. Di sanalah ia melatih anak-anak membaca, menulis, bercerita, dan berani berpikir.
Kegiatan di Pojok Literasi kini tidak lagi terbatas pada membaca dan menulis. Ada pembekalan keterampilan, olahraga, diskusi nilai-nilai kehidupan, hingga latihan kepemimpinan sederhana. Buku-buku yang mereka miliki hanyalah sedikit, tetapi maknanya besar. Mereka belajar dari apa yang ada, bukan dari apa yang kurang.
Pendidikan yang mereka bangun tidak berorientasi pada nilai ujian, tetapi pada nilai kehidupan. Mereka percaya, tugas guru bukan sekadar mengajar, melainkan menemani anak-anak menemukan cahaya dalam dirinya.
Anak-anak yang datang ke pojok ini diberi tugas membaca, lalu menulis kembali isi bacaan dengan cara mereka sendiri. Dari sinilah muncul cerita-cerita sederhana tentang kampung, tentang alam, tentang cinta kepada tanah Papua. Cerita-cerita ini kemudian dibacakan di depan teman-teman mereka dalam bentuk drama. Bagi sebagian orang, ini mungkin hal kecil. Tapi bagi anak-anak itu, ini adalah langkah pertama menuju keberanian untuk berpikir dan berbicara.
“Jangan takut bermimpi. Dunia di luar sana luas, tapi kamu harus punya akar. Akar itu adalah kampungmu.”
Meski hidup dalam keterbatasan, semangat di Pojok Literasi tidak pernah surut. Mereka terus mengadakan kegiatan dari olahraga, diskusi, hingga membaca bersama. Paskalis pun sering mengingatkan melalui pesan kepada adik-adik didiknya:
“Cukup saya yang menganggur. Kalian jangan. Kalian harus belajar supaya bisa kembali dan bangun kampung ini, Kabupaten ini. Juga Provinsi Papua Tengah.”
Kalimat sederhana itu kini menjadi semacam semboyan di dinding pojok literasi. Setiap kali anak-anak mulai lelah atau kehilangan semangat, mereka membacanya kembali. Mereka tahu, pendidikan bukan sekadar mencari pekerjaan, tetapi cara untuk tidak melupakan kampung halaman.
Kini, Pojok Literasi Abaimaida telah menjadi tempat yang lebih dari sekadar ruang belajar. Ia menjadi rumah bagi harapan, tempat anak-anak menemukan makna, dan ruang bagi masyarakat untuk bercermin.
Gerakan ini juga didukung oleh mahasiswa-mahasiswi dari berbagai kampus di Papua, yang secara sukarela mengirimkan buku dan mengajar saat liburan.
Dengan segala keterbatasan, mereka belajar untuk saling menopang. Buku-buku yang terkumpul menjadi jendela ke dunia luar. Di balik halaman-halaman itu, mereka menemukan cita-cita: menjadi guru, perawat, pastor, atau bahkan pemimpin masa depan Papua.
Pojok Literasi Abai Maida adalah bukti bahwa perubahan besar tidak selalu dimulai dari gedung tinggi atau dana besar. Ia bisa lahir dari sebuah pondok sederhana, selembar buku, dan hati yang mau melayani.
Dari tangan Paskalis Dogomo, Pater Hubertus Magai, dan Alexander Magai, lahir sebuah warisan yang akan terus menyala bukan karena fasilitas, tapi karena cinta terhadap manusia dan tanah Papua.
Cahaya dari kampung ini memang kecil, tapi ia nyata. Ia menyalakan harapan bagi anak-anak yang dulu tak punya mimpi. Dan mungkin, suatu hari nanti, dari tangan-tangan kecil itu, dunia akan melihat bahwa Papua bukan hanya tanah yang kaya alam, tapi juga kaya jiwa dan pengetahuan.
Hingga saat ini, Kolaborasi antara Paskalis, Alexander Magai Masih Jalan, anak anak yang dianggap bisa akan dikirim ke Kota besar di mana Kerja sama dengan Pater Huber berjalan. (*)
Penulis Adalah Paskalis Dogomo Pendiri Pojok Literasi di kampung
