Lembah yang Menyimpan Janji "Ketika Kami Menanam Harapan"

Kabut turun pelan di atas lembah Simapitowa, sebuah wilayah kecil di balik rimba Papua Tengah. Suara burung kasuari terdengar dari kejauhan, menyahut samar di antara pepohonan damar dan pinang yang bergetar diterpa angin. Di situlah hidup seorang anak laki-laki bernama Amandus Pokuai bocah kurus dengan mata yang tajam seperti mata air, dan hati yang mudah luluh setiap kali melihat tanahnya terluka.

Amandus tumbuh di dunia yang penuh warna alam. Setiap pagi, ia membantu ibunya menimba air di sungai, lalu berlari-lari di antara batu dan akar pohon yang lembap. Sungai itu adalah sahabatnya tempat ia belajar berenang, tertawa, bahkan menangis diam-diam ketika dimarahi ibunya.

Namun, pada suatu pagi yang lembap, langkahnya terhenti. Sungai yang dulu jernih kini hanya menyisakan genangan kecil. Bebatuan besar yang biasa dilapisi lumut kini kering dan panas. Ikan-ikan yang dulu berenang bebas entah ke mana.

Hening. Tak ada suara burung. Tak ada gemericik air. “Sungai kita menangis,” gumamnya pelan.

Amandus berlari pulang. Nafasnya tersengal. Ia mengetuk rumah kepala kampung, lalu memanggil orang-orang. Malam itu, warga berkumpul di bawah sinar bulan dan api unggun. Wajah-wajah tua menatap bara api yang memercik, seolah sedang mendengar bisikan leluhur.

Kepala kampung, seorang lelaki tua bernama Ama Lukas, membuka suara,

“Leluhur kita pernah berjanji pada bumi jika kita menjaga tanah ini, ia akan menjaga kita. Tapi kita menebang pohon tanpa menanam kembali, kita membuang sampah ke sungai, dan kita lupa pada janji itu.”

Suasana hening. Hanya suara jangkrik yang memecah malam. Tiba-tiba tangan kecil Amandus terangkat.

“Kalau kita sudah lupa, biar kami, anak-anak, yang mengingatkannya kembali,” katanya lirih tapi tegas.

Malam itu menjadi saksi lahirnya janji baru di Lembah Simapitowa. Janji yang lahir bukan dari rapat, bukan dari perintah, melainkan dari rasa cinta dan kesadaran.

Esok paginya, kabut masih menggantung di dahan pohon. Seluruh warga turun ke lembah. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa bibit pohon. Anak-anak seperti Amandus memikul karung berisi biji mahoni dan jambu hutan. Mereka menanam dengan tangan kecil mereka, menenggelamkan jari ke tanah yang lembap, seolah memeluk bumi dengan cinta.

“Tumbuhlah, pohon. Jadilah harapan,” bisik Amandus setiap kali menanam satu bibit kecil.

Hari-hari berikutnya menjadi hari-hari yang sibuk. Orang-orang membersihkan selokan, menata batu di tepi sungai, menanam bambu sebagai penahan erosi. Hujan pun mulai datang, ringan, menetes di antara daun muda.

 Alam seolah mendengar doa mereka.

Namun suatu sore, hujan turun begitu deras. Petir berkilat, angin bertiup kencang. Air mengalir dari gunung membawa ranting dan tanah. Dalam hitungan jam, halaman rumah tergenang. Warga panik.

“Banjir! Banjir!” teriak Pak Zakarias dari luar.

Amandus dan ibunya berlari ke luar. Air setinggi lutut mengalir deras. Amandus menggigil ketakutan. Tapi ibunya memeluknya erat dan berbisik,

“Jangan takut, Nak. Alam tidak marah. Ia hanya mengingatkan kita untuk terus belajar menjaganya.”

Malam itu, Amandus belajar sesuatu: alam tidak pernah benar-benar melawan. Alam hanya menegur dengan cara yang lembut namun tegas.

Bulan berganti bulan. Pohon-pohon yang mereka tanam mulai tumbuh. Daun muda melambai di tepi sungai yang kini kembali jernih. Burung-burung mulai datang, menyanyikan lagu-lagu lama yang dulu hilang. Lembah Simapitowa perlahan berubah menjadi hijau kembali.

Anak-anak bermain bola di lapangan yang kini teduh. Setiap minggu pagi, warga melakukan kerja bakti membersihkan kampung, menanam bunga di pot, dan memperbaiki jalan. Mereka menyebut kegiatan itu “Menanam Harapan”, sebab setiap kerja kecil adalah janji baru bagi masa depan

Amandus tumbuh menjadi remaja. Ia mulai memimpin teman-temannya mengajar anak-anak kecil di kampung lain tentang cara menjaga alam. Kadang mereka menulis di papan kecil dari kayu "Sungai adalah Ibu. Jangan kotori air susu Ibu.” Kalimat sederhana itu kini terpasang di setiap tepian sungai di Simapitowa.

Tahun-tahun berlalu. Hutan di lembah itu kini tumbuh lebat. Sungai berkilau di bawah sinar matahari. Orang-orang dari kampung lain datang melihat perubahan Simapitowa yang dulu kering, kini menjadi kampung hijau dan bersih.

Di bawah pohon besar yang mereka tanam dulu, Amandus berdiri menatap aliran air. Ia teringat kata-kata Ama Lukas malam itu:

“Bumi akan menjaga kita jika kita menepati janji.” Ia tersenyum.

Kini ia tahu, janji itu nyata. Janji yang disimpan oleh lembah, dijaga oleh akar-akar pohon, dan disampaikan oleh setiap tetes air yang mengalir ke laut.

Karena setiap pohon yang ditanam adalah doa,

setiap sungai yang dijaga adalah kasih,

dan setiap janji yang ditepati adalah kehidupan.

Lembah Simapitowa kini tidak hanya hijau,

tetapi juga hidup menyimpan janji antara manusia dan alam,

janji yang akan terus tumbuh bersama harapan generasi berikutnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama