Oleh: Marthen Hagisimijau
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara “OTODIDAK” dari arti orang yang mendapatkan keahlian dengan belajar sendiri tanpa bimbingan. Diri kita sendirilah menentukan bahan pembelajaran serta Waktu belajar.
Pendidikan juga merupakan dasar pembangunan sumber daya manusia (SDM). Harkat dan martabat manusia akan juga meningkatkan kualitas bangsa dan negara, Jika memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai.Dengan pengetahuan yang memadai masyarakat bisa memanfaatkan sumber daya alam (SDA) secara signifikan. Apabila pengetahuan pembangunan manusia belum berhasil, masyarakat juga belum memiliki tingkat pengetahuan yang memadai. Terutama pengetahuan ini diukur dari kualitas pendidikannya.
Selanjutnya dari tujuan utama negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 negara kolonial kesatuan republik Indonesia (NKRI) dimana memenuhi hak lebih khususnya. Pada pasal 31 Ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan berpendidikan.” Sedangkan Pasal 31 Ayat 2 berbunyi, “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah membiayainya.” Bahkan karena pentingnya maka pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke_4 mengantarkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sampai sejauh ini dapat melihat dan simpulkan bahwa mahasiswa papua pentingnya untuk memperjuangkan pendidikan gratis di seluruh tanah papua sesuai dengan konstitusi negara kolonial indonesia, meski tidak secara eksklusif tersurat bahwa pemerintah harus menjalankan Pendidikan gratis di seluruh tanah papua. Jika gratis tidaknya Pendidikan di negara ini pada dasarnya hanya berkaitan dengan persoalan yang ada tidaknya dana yang cukup di dalam kas negara ini. Pendidikan gratis justru mengusung semangat dari nilai-nilai yang ada dalam konstitusi. Karena pada konstitusi ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan pemerintah yang mempromosikan fungsi negara-wajib membiayai pendidikan dasar bagi seluruh warga negara.
Kapitalisasi Pendidikan Papua
Mahalnya biaya pendidikan, APBN dan APBD harus memberikan porsi minimal 20 persen, artinya memungkinkan untuk lebih dari itu jika kondisi keuangan negara atau daerah memungkinkan. Tentang gratisnya biaya pendidikan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bahkan tingkat perguruan Tinggi (Perguruan Tinggi) sangat memungkinkan untuk diperjuangkan.
Hal ini bukan sesuatu yang tabu, terlarang atau bertentangan dengan konstitusi Indonesia itu sendiri. Kalimat, wajib membiayai “pendidikan dasar” bagi seluruh warga negara, dan kalimat, “harus memberikan porsi minimal 20 persen” itu memberi celah kemungkinan untuk meningkatkan kewajiban pemerintah untuk dapat membiayai seluruh tingkat pendidikan warga negara dengan meningkatkan potensi porsi dana pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan di tanah Papua merupakan persoalan pokok oleh mahasiswa Papua, selain kualitas pendidikan yang rendah, fasilitas yang tidak memadai, dan keterbatasan tenaga pengajar.
Masalah klasik seperti kekurangan meja dan kursi belajar, terbatasnya kelas dan ruang praktek masih manjadi perhatian serius. Padahal dalam konteks Otsus, seharusnya pendidikan bermutuh dan murah dapat diakses oleh masyarakat.
Kampus-kampus di tanah Papua cenderung mengkomersialkan pendidikan, apalagi arah kebijakan pemerintah Indonesia adalah mendukung swastanisasi atau privatisasi kampus, dimana subsidi pendidikan semakin dikurangi. Disisi lain pemerintah tidak mengontrol secara efektif peraturan tiap kampus tentang besarnya biaya pendidikan
Kampus-kampus terkesan melakukan pungutan liar (pungli) yang sangat membebani mahasiswa atau anak sekolah. Biaya pendaftaran awal masuk kampus atau sekolah mahal, satuan biaya pendidikan (SPP) mahal, biaya kuliah kerja nyata (KKN) mahal, biaya kuliah kerja lapangan (KKL) mahal, dan yang mahal uang Wisudah begitu lebih mahal lagi.
Padahal sebagian besar mahasiswa Papua yang kuliah di tanah Papua adalah anak dari petani tradisional, nelayan tradisional, peramu, dan kaum miskin perkotaan, atau anak pegawai negeri berpangkat rendah yang berpenghasilan dibawah standar.
STOP MILITERISME PENDIDDIKAN DI TANAH PAPUA
Militerisme di dalam sekolah dan kampus hadir dalam bentuk program, kebijakan, atau aktivitas yang memuat unsur-unsur militeristik. Dimana hidupnya paham ini di kampus secara otomatis berlawanan dengan nilai, program atau aktivitas demokrasi. Dengan kata lain, hidupnya paham militarisme di kampus atau sekolah dengan sedirinya akan berpotensi membunuh demokrasi di dalam Kampus.
Masuknya aparat keamanan dalam areal Kampus atau sekolah, apalagi dengan membawah senjata api untuk melarang/membatasi aktivitas (politik atau Demokrasi) Mahasiswa atau program Universitas atas nama alasan keamanan, padahal aktivitas tersebut damai, tidak mengancam keselamatan seseorang secara fisik atau pisikis adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berkpresi, pembungkaman demokrasi, dan bentuk militerisme di kampus.
Ketika pihak kampus membangun kerjasama dengan aparat keamanan dalam hal mengawasi aktifitas demokrasi di dalam kampus,memberikan kesempatan kepada petinggi dari institusi keamanan untuk melakukan kuliah umum bertema keamanan negara atau kewaspadaan nasional, perlu diwaspadai muatan-muatan yang cenderung kearah peyebaran paham militarisme terhadap mahasiswa.
Interfensi pihak keamanan ke kampus dengan tujuan memasung kebebasan berekspresi atau aktivitas demokrasi di kampus adalah bentuk-bentuk terselubung dari militerisme di dalam kampus. Unit kegiatan seperti Resimen Mahasiswa ,(Menwa) adalah contoh militerisme di kampus. Pendirian pos polisi/tentara di areal kampus atau dekat kampus perlu dicurigai sebagai kebijakan yang bertendensi ke pembatasan aktivitas demokrasi Mahasiswa dan berujung ke Militelisme di Kampus. Apalagi terdapat penerimaan Polri dalam Kampus seperti yang dilakukan di Universitas Cenderawasih “Uncen” saat ini.
Gratiskan pendidikan dari paud sampai perguruan tinggi di seluruh Tanah Papua; buat perdasi/perdasus pendidikan tinggi di Papua: kontrol kampus dan sekolah yang biayanya tinggi; subsidi untuk tingkatkan kualitas pendidikan; stop intervensi pihak keamanan di dunia pendidikan dan hentikan penangkapan mahasiswa di dalam kampus menghormati Otonomi dan kewibawaan kampus sebagai lembaga Ilmiah
Jangan kita mau terus di ombang-ambing akan kondisi kehidupan hari ini, yang di mana masih jauh dari harapan kita semua. Masih jauh dari harapan seorang siswa, buruh, kaum tani, miskin kota dan seluruh elemen masyarakat.
Maka dari itu, mahasiswa Papua teruslah belajar dan terus berada dalam garis perlawanan menuju sebuah perubahan revolusi pendidikan. Saatnya Pelajar dan Mahasiswa Papua bersatu, sepakat untuk menghapuskan segala bentuk penindasan,pengisapan dan diskriminasi di dunia pendidikan sampai wujudkan pendidikan Gratis dari paud sampai perguruan tinggi di Seluruh Tanah Papua.
“Mahasiswa Papua Bersatu, harus bangkit lawan sistem kapitalisasi serta Militerisasi pendidikan dan Wujudkan Pendidikan Gratis di seluruh Tanah Papua”
Penulis adalah Ketua Departemen Aksi dan Mobilisasi massa Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) Pusat.
