Tulisan ini saya buat, berangkat dari catatan dan pernyataan orang-orang terdekat dengan perjuangan pembangunan Asrama Swadaya Rumpun Pelajar dan Mahasiswa Siriwo, Mapia, Piyaiye, Topo, dan Wanggar (RPM Simapitowa) di Jayapura.
Perjuangan membangun asrama ini bukanlah kisah baru. Ia telah dimulai sejak tahun 2007, melalui berbagai rapat kecil, rencana, dan niat yang terus dijaga di hati banyak orang para senior, mahasiswa, dan masyarakat asal wilayah Simapitowa yang ada di Jayapura dan di tanah asal.
Kini, setelah hampir delapan belas tahun perjalanan panjang, impian itu benar-benar terwujud pada tahun 2025. Pembangunan Asrama Swadaya RPM Simapitowa menjadi bukti nyata dari ketekunan, kebersamaan, dan tekad untuk tidak menyerah pada waktu.
Asrama ini bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol dari perjuangan panjang sebuah komunitas yang menolak dilupakan perjuangan untuk memberi rumah bagi generasi muda, tempat belajar, tempat tumbuh, dan tempat menanam harapan.
pada Sabtu pagi yang cerah, 25 Oktober 2025, suara sekop dan cangkul terdengar bersahutan di belakang Gereja Harapan, Abepura. Di atas tanah yang basah oleh embun, sekelompok orang berdiri melingkar, menunduk sejenak dalam doa. Tak ada kemegahan upacara. Tak ada baliho besar. Hanya tangan-tangan sederhana yang meletakkan batu, satu demi satu, di tanah yang telah lama ditunggu.
Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan sejarah panjang sebuah pertarungan melawan lupa. Asrama Swadaya Rumpun Pelajar dan Mahasiswa Simapitowa (RPM Simapitowa) akhirnya mulai dibangun kembali, setelah 18 tahun hanya hidup sebagai rencana, sebagai wacana yang nyaris hilang ditelan waktu. Kini, batu pertama itu bukan sekadar tanda dimulainya pembangunan fisik, tetapi simbol perlawanan terhadap ketidakpedulian yang sempat membeku di hati banyak orang.
Bagi sebagian orang, 18 tahun hanyalah angka. Tapi bagi mahasiswa dan pelajar Simapitowa yang berjuang di tanah rantau, 18 tahun adalah perjalanan panjang dalam ketidakpastian. Mereka yang datang dari Siriwo, Mapia, Piyaiye, Topo, dan Wanggar tahu benar artinya hidup berpindah-pindah dari kos murah ke rumah sewa, dari tumpangan ke tumpangan
Mereka menuntut ilmu, tapi sering kali juga menuntut kesabaran. Mereka belajar di kampus, tapi juga belajar bertahan di tengah keterbatasan. Yull
Intelektual dan senior RPM Simapitowa, Apedius I. Mote, mengingatkan bahwa pembangunan asrama ini adalah perjalanan spiritual, bukan sekadar proyek material.
“Asrama ini bukan hanya tempat tidur, tapi tempat bertumbuh. Di sini anak-anak kita belajar menata diri, menemukan arah hidup, dan menumbuhkan keberanian,” katanya dengan suara yang menahan haru.
Baginya, asrama adalah rumah simbolik tempat iman bertemu ilmu, tempat kesederhanaan bertemu cita-cita.
Di tengah dunia yang bergerak cepat, masyarakat Simapitowa menolak menjadi penonton sejarah. Kepala Suku Besar Wilayah Simapitowa, Fabianus Tebai, berdiri di antara tumpukan batu dan semen sambil mengangkat suara.
“Kalau batu sudah diletakkan, berarti waktunya bekerja. Semua harus ikut. Dari Jayapura sampai Dogiyai, dari Nabire sampai Kaimana, semua anak Simapitowa punya tanggung jawab.”
Kata-kata itu seperti seruan kebangkitan seruan yang lahir bukan dari pidato politik, tetapi dari kesadaran budaya dan iman yang dalam: bahwa masa depan tidak bisa dibangun dengan janji, melainkan dengan tindakan.
Fabianus tahu, membangun asrama ini bukan pekerjaan mudah. Tapi yang lebih sulit adalah membangun kembali semangat kebersamaan yang sempat pudar karena jarak dan waktu. Maka ia tak sekadar mengajak masyarakat membangun dinding, tapi juga membangun kembali rasa percaya antar generasi.
Pemerintah pun akhirnya ikut membuka mata Bupati Nabire, Mesak Magai, S.Sos., M.Si., memberikan dukungan dana sebesar Rp 1 miliar sebuah langkah nyata yang tak hanya berbentuk angka, tetapi juga pengakuan bahwa pendidikan anak-anak Papua Tengah adalah tanggung jawab bersama.
“Pemerintah punya tanggung jawab moral untuk menyediakan ruang belajar yang aman dan layak bagi mahasiswa. Ini bukan sekadar bantuan dana, tapi investasi untuk masa depan Papua Tengah,” tegasnya.
Dari sisi lain, Felix Petege, intelektual muda asal Tota Mapia, menunjukkan bahwa kepedulian bisa datang dari siapa saja. Ia menyumbangkan Rp 50 juta dalam pembukaan Turnamen SIMAPITOWA Cup VII di Nabire.
“Asrama ini adalah rumah kolektif kita. Ini bukan tentang siapa yang memberi banyak, tapi tentang siapa yang tidak tinggal diam,” katanya dengan nada tegas.
Dua sosok berbeda pejabat dan intelektual muda bertemu dalam semangat yang sama: memastikan bahwa harapan generasi Simapitowa tidak lagi dibiarkan terkatung di udara.
Bagi Paskalis Dogomo, yang sejak 2007 ikut mendorong ide pembangunan ini, hari peletakan batu pertama itu adalah puncak dari perjalanan panjang antara keyakinan dan kesabaran.
“Selama hampir dua dekade kami bermimpi. Hari ini, mimpi itu mulai berdiri. Ini bukan proyek, ini adalah panggilan sejarah,” katanya pelan tapi penuh makna.
Asrama ini, menurutnya, bukan hanya tentang ruang fisik, tapi juga tentang identitas bagaimana generasi Simapitowa mengenal dirinya, budayanya, dan Tuhan yang memanggil mereka untuk berjuang dengan cara yang bermartabat.
Membangun asrama berarti membangun rumah iman dan nalar. Di sanalah mahasiswa belajar hidup bersama, mendengar satu sama lain, dan memahami arti kata rumah yang sesungguhnya: tempat pulang ketika dunia luar terasa asing.
Pertarungan Melawan Lupa
Pembangunan Asrama Swadaya Simapitowa adalah pertarungan melawan lupa lupa akan tanggung jawab moral, lupa akan cita-cita awal, dan lupa bahwa pendidikan adalah jalan paling manusiawi untuk membebaskan diri dari ketertinggalan.
Lupa adalah musuh yang halus: ia tidak datang dalam bentuk bencana, tetapi dalam bentuk kebiasaan menunda. Dan penundaan selama 18 tahun itulah yang kini ditebus oleh kerja keras generasi baru.Namun, perjuangan belum selesai. Batu pertama hanyalah awal. Tantangan sesungguhnya adalah menjaga semangat tetap hidup di tengah godaan waktu, kepentingan, dan perbedaan pandangan. Karena seperti sejarah yang sering membuktikan banyak yang bisa memulai, tapi tidak semua mampu menyelesaikan.
Ketika batu pertama itu diletakkan di tanah Abepura, yang sesungguhnya ditanam bukan sekadar fondasi bangunan, melainkan janji moral: bahwa masyarakat Simapitowa tidak akan lagi membiarkan anak-anak mereka bertarung sendirian di kota perantauan.
asrama ini adalah bentuk nyata dari tekad kolektif bahwa pendidikan bukan kemewahan, melainkan hak yang harus diperjuangkan bersama.
Seperti kata Apedius Mote, “Asrama ini akan menampung generasi demi generasi. Karena itu, perjuangan hari ini bukan untuk kita, tapi untuk anak-anak yang akan datang.” Dan di situlah inti dari seluruh kisah ini: bahwa perjuangan melawan lupa bukan sekadar mengingat masa lalu, tetapi memastikan masa depan tidak lagi menunggu selama 18 tahun untuk sebuah harapan yang seharusnya sudah lama menjadi kenyataan.
